Teori Kehancuran Bangsa Menurut Al-Qur'an

source: om google

Al-Qur'an banyak menuturkan kisah-kisah umat masa lalu. Di antara mereka ada yang sudah musnah ditelan masa tetapi juga banyak yang masih bisa dilacak peninggalan sejarahnya. Namun begitu, penuturan kisah-kisah tersebut bukan sekedar untuk mengungkap dimensi kesejarahannya; akan tetapi untuk dijadikan 'ibrah (peringatan atau pelajaran) bagi umat-umat setelahnya.

Paling tidak, ada empat bangsa yang dianggap cukup maju baik secara teknologi maupun kemapanan ekonomi. Misalnya, kaum 'Ad (kaum Nabi Hud as.) yang digambarkan oleh Al-Qur'an sebagai bangsa yang sudah maju yang belum pernah ada sebelumnya. Begitu juga kaum Tsamud (kaum Nabi Sholeh as.), mereka memiliki keahlian untuk memahat gunung-gunung cadas, baik untuk hiasan semacam relief-relief maupun untuk tempat tinggal dengan arsitektur yang cukup mengagumkan untuk ukuran saat itu. Bahkan, mungkin sampai saat ini. Kemudian bangsa Madyan (kaum Nabi Syu'aib as.), mereka hidup di kawasan yang subur dan memiliki dua keahlian yang sangat menonjol, yaitu berdagang dan bercocok tanam, yang memungkinkan mereka bisa maju secara ekonomi. Dan terakhir adalah bangsa Mesir, yang dipimpin oleh seorang Raja, yang dikenal dengan Fir'aun. Fir'aun memiliki pengaruh dan kekuasaan yang sangat besar dan kuat. Ia menguasai tanah Mesir dan hajat hidup rakyat Mesir.

Namun, keempat bangsa besar di atas pada akhirnya dihancurkan oleh Allah SWT. Dalam hal ini, Al-Qur'an menyebut mereka sebagai bangsa yang kafir, zalim, fasik, dan kizb (mendustakan kebesaran Allah SWT). Sepintas pernyataan Al-Qur'an tersebut mengarah kepada kesalahan teologis. Maksudnya, mereka dihancurkan karena secara teologis, akidah mereka berbeda dengan akidah para Rasul. Namun, menurut Imam al-Razi, seorang mufasir ensiklopedis, bahwa sebab-sebab kehancuran mereka bukan bersifat teologis, tetapi bersifat sosiologis. Misalnya kaum 'Ad disebabkan oleh keangkuhan intelektual yang sudah membudaya; kaum Tsamud disebabkan oleh budaya hedonistic; bangsa Madyan disebabkan oleh kecurangan dalam berbisnis (kejahtan ekonomi); sedangkan Fir'aun disebabkan oleh arogansi kekuasaan sehingga cenderung bersikap tiranik dan menindas. Atau dengan istilah lain, Allah akan mengabaikan kebenaran akidah jika tidak tercermin didalam realitas sosialnya.

Namu, ada hal penting yang perlu diungkap dibalik kehancuran bangsa itu? Memang benar, bahwa kehacuran bangsa itu disebabkan oleh kezaliman yang sudah membudaya. Namun, hal itu bukan berarti setiap penduduk melakukan kezaliman, tetapi pada mulanya dilakukan oleh sebagian saja. Hanya saja, yang sebagian itu menjadi kelompok dominan di masyarakat. Kelompok inilah yang berpotensi menciptakan budaya-budaya buruk ditengah-tengah masyarakat. Ini bisa dipahami dari firman Allah :
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (mutraf) di negeri itu (supaya mena'ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapya perkataan (ketentuan Kami), kemudian KAmi hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Al-Isr 17:16).

Ayat di atas bukan sekedar memaparkan hancurnya sebuah bangsa tertantu yang ada pada masa lalu, tetapi ayat ini merupakan bisa dipahami sebagai teori umum tentang kehancuran bangsa. Dalam hal ini, Al-Qur'an secara khusus menyebutkan kata mutraf yang oleh para pakar dipahami sebagai orang yang cenderung berlaku seenaknya dan berfoya-foya disebabkan kemewahan dan kemegahan yang dimiliki. Mereka juga merupakan kelompok yang mudah melupakan nilai-nilai kemasyarakatan, melecehkan ajaran-ajaran agama; bahkan, menindas orang-orang yang lemah. Mereka terbiasa "menikmati" perilaku dosanya tanpa merasa bersalah.

Dari gambaran diatas bisa dipahami bahwa mutraf adalah orang-orang yang memiliki "sesuatu" yang berpotensi melahirkan penyimpangan-penyimpangan sosial tersebut. Dan, "sesuatu" yang dimaksud adalah harta dan kekuasaan. Sebab, kedua hal inilah yang paling dipercaya memiliki pengaruh kuat bagi kehidupan masyarakat. Jika demikian, maka kata mutraf dapat diidentifikasi sebagai kelompok yang menguasai ekonomi (elit ekonomi) dan pemegang kekuasaan (elit penguasa/politik). Hal ini cukup logis, sebab kedua kelompok tersebut pada kenyataannya paling berpotensi menciptakan budaya-budaya buruk bagi masyarakat, sekaligus berpotensi melakukan ketidakadilan, penindasan, dan penyelewengan.

Hubungan rasional antara kelompok mutraf dan eksistensi bangsa dijelaskan oleh Maheruddin Shiddiqi, sarjana Muslim dari Pakistan : "Ketika masyarakat terbiasa hidup mewah dan dikelilingi dengan kemewahan, mereka akan terbiasa memperoleh kemudahan dan kesenangan, yang selanjutnya cenderung mengendurkan kontrol spiritual dan disiplin sosialnya. Longgarnya kontrol ini akan mengakibatkan mereka mudah melakukan ketidakadilan dan tidak berperikemanusiaan terhadap hak-hak orang-orang lemah dan tidak berdaya".

Secara ilustratif, dijelaskan oleh Quraish Shihab, "Apabila penguasa suatu negeri hidup berfoya-foya, maka ini akan menjadikan mereka melupakan tugas-tugasnya serta mengabaikan hak-hak orang kebanyakan, membiarkan mereka hidup miskin. Inilah yang mengundang kecemburuan sosial, sehingga merenggangkan hubungan masyarakat dan mengakibatkan timbulnya perselisihan dan pertikaian yang melemahkan sendi-sendi bangunan masyarakat, yang pada gilirannya meruntuhkan sistem yang diterapkan oleh penguasa-penguasa tersebut. Ketika itulah akan runtuh dan hancur masyarakat atau negeri tersebut".

Atau secara logis, dijelakan oleh Imam al-Razi, "Ketika seseorang mendapat berbagai kenikmatan, melebihi yang lain, maka sudah sewajarnya jika ia lebih dituntut untuk bersyukur kepada Allah. Ketika perilaku mereka justru semakin buruk dari hari ke hari; sementara Allah SWT. masih terus memeberinya nikmat, maka wajar saja jika mereka layak dibinasakan. Namun begitu, bukan berarti Islam melarang manusia untuk menikmati kesenangan-kesenangan yang wajar. Yang ditentang oleh Islam adalah ketika kenikmatan itu menjadikan dirinya tidak mau lagi menjalani reksiko dan berkorban demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia.

Di samping mutraf, sebenarnya masih ada kelompok lain yang bisa diidentifikasikan memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehancuran bangsa, yaitu mala'. Di dalam Al-Qur'an, kata mala' disebutkan sebanya 30 kali. Mala' adalah kelompok yang dpandang mulia oleh masyarakat. Mereka dipenuhi oleh kebanggaan dan kebesaran. Al-Qur'an menggambarkan mala' sebagai kelompok yang berada di sekeliling penguasa. Memang tidak semua mala' itu buruk, namun kecenderungan kelompok mala' dinyatakan oleh Al-Qur'an sebagai kelompok yang senantiasa "menjilat" sang penguasa. Bahkan, demi memuaskan nafsu serakahnya, mereka tidak segan-segan melakukan cara-cara kotor, provokatif, dan intimidatif. Mereka pun berupaya keras untuk menghalangi tegaknya kebenaran dan keadilan. Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut, mereka tidak segan-segan melontarkan tuduhan yang nista dan tidak benar kepada para penegak kebenaran dan keadilan, kalau perlu dengan "menyihir" dan mempengaruhi lewat ide-ide "sesat" yang dibungkus dengan sangat rapi dan indah, juga memecah-belah serta membodohi pihak-pihak lain. (Qs. 7: 60, 66 dan Qs. 11:27).

Melalui mala' inilah para penguasa mencari dukungan untuk melanggengkan kekuasaannya. Di sisi lain, sang penguasa mencuci otak mala', dengan menanamkan doktrin bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi kepentingan masyarakat. Sebagaimana yang tergambar dalam sosok Fir'aun (Qs. 23:38). Bahkan untuk lebih meyakinkan, Fir'aun berkata : "Aku tidak mengemukakan kepada kalian kecuali yang aku pandang baik". (Qs. Gofir/40:29).

Hubungan ketiga kelompok dominan di atas, elit politik, elit ekonomi, dan mala' dalam konteks kehancuran bangsa, secara logis dapat dijelaskan demikian :
"Apabila ketiga kelompok tersebut berkolusi serta melakukan konspirasi-konspirasi busuk maka tidak ada satu pun yang mampu menghentikannya, kecuali Allah. Ini artinya bangsa tersebut sudah memenuhi syarat-syarat kehancuran". Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Al-Qur'an : "maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri tiu sehancur-hancurnya (Qs. 17:16). Bahwa kemudian siapa yang bisa mengukur kalau kezaliman itu sudah memenuhi syarat-syarat kehancuran sudah mencapai 100% atau belum tentu saja hanya Allah yang mengetahuinya. Namun yang pasti efek dari kehancuran tersebut akan sangat dahsyat dan meluas. Bukan saja menimpa mereka yang berperilaku zalim tetapi merebak ke seluruh sendi kehidupan masyarakat, termasuk menimpa anak-anak dan orang-orang yang tidak bersalah. Inilah sunnatullah (ketetapan Allah) di dunia yang tidak akan mengalami perubahan dan penyimpangan.

Jika KKN pernah menjadi sebab utama bagi terpuruknya negeri ini. Namun, sumber utama KKN ternyata bukan dari rakyat biasa atau orang miskin dan bodoh, tetapi justru mereka-mereka yang memegang kekuasaan, baik politik maupun ekonomi. Bahkan banyak diantaranya berpendidikan tinggi, namun bermental busuk. Sayangya, virus KKN yang telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan di negara ini, ternyata masih belum bisa diselesaikan dengan cukup elegan oleh bangsa ini.

Memang benar. Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu sendiri mengubah apa yang ada di dalam diri mereka sendiri. Namun, perubahan disini bukan dalam tataran pranata-pranata sosial, tetapi perubahan mental dan karakter. Gerakan penanaman sejuta pohon, tentu saja sesuatu yang berguna bagi kelangsungan bangsa ini, namun siapa yang menjamin kalau pohon yang sudah tinggi itu kelak tidak akan digunduli lagi dan ditebang secara ilegal serta penuh keserakahan, jika mentalnya masih mental masa lalu. Oleh karena itu, membangun sebuah bangsa yang habis terpuruk, bukan berarti mengubah "nasib" tetapi "membangun kembali" bangunan yang sudah porak poranda. Dalam hal ini, Al-Qur'an menekankan pada perubahan sikap mental dan karakter yang selanjutnya bisa mempengaruhi perilaku (Qs. 13:11).

Wa Allahu a'lamm


Sumber : Lembar Khutbah Jum'at Masjid Agung At-Tin

Leave a Reply